Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.
Ternyata Sepatu Hiking dan Peralatan Luar Ruang jadi Sumber Polusi Mikroplastik
9 jam lalu
Haduh, sol sepatu hiking, pelaku utama penyebar mikroplastik berbahaya.
***
Aktivitas hiking dan petualangan alam bebas sering dipandang sebagai cara untuk terhubung dengan alam dan menjauh dari polusi perkotaan. Namun, sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa para pendaki justru membawa serta polusi mikroplastik ke dalam ekosistem alam liar melalui sol sepatu hiking dan peralatan luar ruangan mereka. Penemuan ini mengungkap kontradiksi mengejutkan: semakin banyak orang menikmati alam, semakin besar potensi kerusakan mikroskopis yang mereka timbulkan.
Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 mm yang berasal dari degradasi plastik besar atau diproduksi secara langsung dalam ukuran kecil. Dalam konteks peralatan luar ruangan, mikroplastik terutama berasal dari abrasi material sintetis. Sol sepatu hiking, yang sering terbuat dari karet sintetis dan polimer tahan lama, secara bertahap terkikis saat digunakan di medan kasar. Setiap langkah di bebatuan atau tanah dapat melepaskan ribuan partikel mikroplastik yang kemudian terbawa oleh air hujan atau angin ke sungai, tanah, dan ekosistem lainnya.
Selain sepatu, peralatan seperti ransel, tenda, dan jaket antiair juga menyumbang mikroplastik. Bahan seperti poliester, nilon, dan pelapis tahan air berbasis perfluoroalkyl (PFC) dikenal melepaskan serat dan partikel saat digunakan atau dicuci. PFC, yang dikenal sebagai “bahan kimia abadi”, sangat sulit terurai dan telah dikaitkan dengan risiko kesehatan serius seperti kanker dan gangguan hormon.
Di Indonesia, mikroplastik telah terdeteksi di hampir seluruh perairan, dari sungai hingga laut lepas. Penelitian dari IPB University menunjukkan bahwa mikroplastik telah mencemari ekosistem pesisir dan perairan laut, termasuk di kawasan Jakarta. Ekspedisi IMPOLSE 2025 yang digelar oleh BRIN bersama mitra internasional juga menemukan konsentrasi mikroplastik yang signifikan di laut Indonesia, menunjukkan bahwa polusi ini telah menyebar luas.
Partikel mikroplastik dapat terakumulasi dalam rantai makanan, dari plankton hingga ikan konsumsi. Studi menunjukkan bahwa mikroplastik dapat menyebabkan stres oksidatif, gangguan pencernaan, dan penurunan reproduksi pada organisme akuatik. Di tingkat ekosistem, akumulasi mikroplastik dapat mengubah komposisi tanah dan air, mengganggu proses alami seperti infiltrasi air dan siklus nutrisi.
Mikroplastik kini terdeteksi dalam darah, paru-paru, hati, dan bahkan sendi tubuh manusia. Partikel ini dapat memicu peradangan, mengganggu sistem imun, dan bahkan memicu pertumbuhan tumor. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah memperingatkan bahwa mikroplastik yang tidak kasat mata ini memiliki dampak kesehatan yang tak terduga. Paparan jangka panjang terhadap mikroplastik dan bahan kimia terkait seperti PFC dapat meningkatkan risiko penyakit kronis, termasuk gangguan endokrin dan ketidaksuburan.
Beberapa merek besar mulai mengambil langkah. Adidas telah meluncurkan sepatu hiking dari plastik daur ulang yang dikumpulkan dari lautan, bekerja sama dengan Parley for the Oceans. Nike juga menjalankan inisiatif “Move to Zero” untuk mengurangi jejak karbon dan limbah. Namun, solusi ini masih terbatas dan belum menjadi standar industri.
Alternatif bahan alami seperti karet alam, katun organik, dan wol tahan air sedang dikembangkan sebagai pengganti bahan sintetis. Teknologi pelapis ramah lingkungan berbasis silikon atau lilin alami juga menunjukkan potensi untuk menggantikan PFC.
Konsumen memiliki peran penting dalam mendorong perubahan. Memilih produk dari bahan alami, merawat peralatan agar lebih tahan lama, dan mendukung merek yang transparan tentang dampak lingkungannya adalah langkah konkret yang dapat diambil. Edukasi tentang “leave no trace” juga perlu diperluas hingga ke tingkat molekuler—bukan hanya meninggalkan sampah fisik, tetapi juga meminimalkan jejak mikroplastik.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produk konsumen dan mendorong inovasi bahan ramah lingkungan. Kolaborasi antara industri, peneliti, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. ***

Penulis Indonesiana
7 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler